Oleh : Ust. Abu Muhammad AbdulMu’thi, Lc.
Janji memang ringan diucapkan namun berat untuk ditunaikan. Betapa banyak orangtua yang mudah mengobral janji kepada anaknya tapi tak pernah menunaikannya. Betapa banyak orang yang dengan entengnya berjanji untuk bertemu namun tak pernah menepatinya. Dan betapa banyak pula orang yang berhutang namun menyelisihi janjinya. Bahkan meminta udzur pun tidak. Padahal, Rasulullah telah banyak memberikan teladan dalam hal ini termasuk larangan keras menciderai janji dengan orang-orang kafir.
Janji memang ringan diucapkan namun berat untuk ditunaikan. Betapa banyak orangtua yang mudah mengobral janji kepada anaknya tapi tak pernah menunaikannya. Betapa banyak orang yang dengan entengnya berjanji untuk bertemu namun tak pernah menepatinya. Dan betapa banyak pula orang yang berhutang namun menyelisihi janjinya. Bahkan meminta udzur pun tidak. Padahal, Rasulullah telah banyak memberikan teladan dalam hal ini termasuk larangan keras menciderai janji dengan orang-orang kafir.
Manusia dalam hidup ini pasti ada  keterikatan dan pergaulan dengan orang lain. Maka setiap kali seorang  itu mulia dalam hubungannya dengan manusia dan terpercaya dalam  pergaulannya bersama mereka, maka akan menjadi tinggi kedudukannya dan  akan meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Sementara seseorang tidak  akan bisa meraih predikat orang yang baik dan mulia pergaulannya,  kecuali jika ia menghiasi dirinya dengan akhlak-akhlak yang terpuji. Dan  di antara akhlak terpuji yang terdepan adalah menepati janji.
Sungguh Al-Qur`an telah  memerhatikan permasalahan janji ini dan memberi dorongan serta  memerintahkan untuk menepatinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلاَ تَنْقُضُوا اْلأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيْدِهَا …
“Dan tepatilah perjanjian  dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan  sumpah-sumpah itu sesudah meneguhkannya….” (QS. An-Nahl: 91)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُوْلاً
“Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra`: 34)
Demikianlah perintah Allah  Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk senantiasa  menjaga, memelihara, dan melaksanakan janjinya. Hal ini mencakup janji  seorang hamba kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, janji hamba dengan  hamba, dan janji atas dirinya sendiri seperti nadzar. Masuk pula dalam  hal ini apa yang telah dijadikan sebagai persyaratan dalam akad  pernikahan, akad jual beli, perdamaian, gencatan senjata, dan  semisalnya.
Para Rasul Menepati Janji
Seperti  yang telah dijelaskan bahwa menepati janji merupakan akhlak terpuji  yang terdepan. Maka tidak heran jika para rasul yang merupakan panutan  umat dan penyampai risalah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada manusia,  menghiasi diri mereka dengan akhlak yang mulia ini. Inilah Ibrahim  ‘alaihissalam, bapak para nabi dan imam ahlut tauhid. Allah Subhanahu wa  Ta’ala telah menyifatinya sebagai orang yang menepati janji. Allah  Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِبْرَاهِيْمَ الَّذِي وَفَّى
“Dan Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji.” (QS. An-Najm: 37)
Maksudnya bahwa Nabi Ibrahim  ‘alaihissalam telah melaksanakan seluruh apa yang Allah Subhanahu wa  Ta’ala ujikan dan perintahkan kepadanya dari syariat, pokok-pokok agama,  serta cabang-cabangnya.
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang Nabi Ismail ‘alaihissalam:
إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ
“Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya” (QS. Maryam: 54)
Yakni tidaklah ia menjanjikan  sesuatu kecuali dia tepati. Hal ini mencakup janji yang ia ikrarkan  kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala maupun kepada manusia. Oleh karena itu,  tatkala ia berjanji atas dirinya untuk sabar disembelih oleh bapaknya  –karena perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala– ia pun menepatinya dengan  menyerahkan dirinya kepada perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Taisir  Al-Karimir Rahman, hal. 822 dan 496)
Adapun Nabi Muhammad Shallallahu  ‘alaihi wa sallam, beliau memperoleh bagian yang besar dalam  permasalahan ini. Sebelum diutus oleh Allah, beliau Shallallahu ‘alaihi  wa sallam telah dijuluki sebagai seorang yang jujur lagi terpercaya.  Maka tatkala beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diangkat menjadi  rasul, tidaklah perangai yang mulia ini kecuali semakin sempurna pada  dirinya. Sehingga orang-orang kafir pun mengaguminya, terlebih mereka  yang mengikuti dan beriman kepadanya.
Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi  wa sallam pada tahun keenam Hijriah berangkat dari Madinah menuju Makkah  untuk melaksanakan umrah beserta para shahabatnya. Waktu itu Makkah  masih dikuasai musyrikin Quraisy. Ketika sampai di Al-Hudaibiyah, beliau  Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin dihadang oleh kaum  musyrikin. Terjadilah di sana perundingan antara Rasulullah Shallallahu  ‘alaihi wa sallam dan kaum musyrikin. Disepakatilah butir-butir  perjanjian yang di antaranya adalah gencatan senjata selama sepuluh  tahun, tidak boleh saling menyerang, bahwa kaum muslimin tidak boleh  umrah tahun ini tetapi tahun depan –di mana ini dirasakan sangat berat  oleh kaum muslimin karena mereka harus membatalkan umrahnya–, dan kalau  ada orang Makkah masuk Islam lantas pergi ke Madinah, maka dari pihak  muslimin harus memulangkannya ke Makkah.
Bertepatan dengan akan  ditandatanganinya perjanjian tersebut, anak Suhail –juru runding orang  Quraisy– masuk Islam dan ingin ikut bersama shahabat Nabi Shallallahu  ‘alaihi wa sallam ke Madinah. Suhail pun mengatakan kepada Nabi  Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa jika anaknya tidak dipulangkan  kembali, dia tidak akan menandatangani kesepakatan. Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wa sallam akhirnya menandatangani perjanjian  tersebut dan menepati janjinya. Anak Suhail dikembalikan, dan muslimin  harus membatalkan umrahnya. Namun di balik peristiwa itu justru kebaikan  bagi kaum muslimin, di mana dakwah tersebar dan ada nafas untuk  menyusun kembali kekuatan. Namun belumlah lama perjanjian itu berjalan,  orang-orang kafir lah yang justru mengkhianatinya. Akibat pengkhianatan  tersebut, mereka harus menghadapi pasukan kaum muslimin pada peristiwa  pembukaan kota Makkah (Fathu Makkah) sehingga mereka bertekuk lutut dan  menyerah kepada kaum muslimin. Dengan demikian, jatuhlah markas komando  musyrikin ke tangan kaum muslimin. Manusia pun masuk Islam dengan  berbondong-bondong. Demikianlah di antara buah menepati janji: datangnya  pertolongan dan kemenangan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Zadul  Ma’ad, 3/262)
Para Salaf dalam Menepati Janji
Dahulu  ada seorang shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bernama Anas  bin An-Nadhr radhiyallahu ‘anhu. Dia amat menyesal karena tidak ikut  perang Badr bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia  berjanji jika Allah Subhanahu wa Ta’ala memperlihatkan kepadanya medan  pertempuran bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, niscaya  Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melihat pengorbanan yang dilakukannya.
Ketika berkobar perang Uhud, dia  berangkat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam  perang ini kaum muslimin terpukul mundur dan sebagian lari dari medan  pertempuran. Di sinilah terbukti janji Anas. Dia terus maju menerobos  barisan musuh sehingga terbunuh. Ketika perang telah usai dan kaum  muslimin mencari para syuhada Uhud, didapati pada tubuh Anas bin  An-Nadhr ada 80 lebih tusukan pedang, tombak, dan panah, sehingga tidak  ada yang bisa mengenalinya kecuali saudarinya. Lalu turunlah ayat  Al-Qur`an:
مِنَ  الْمُؤْمِنِيْنَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللهَ عَلَيْهِ  فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا  بَدَّلُوا تَبْدِيْلاً
“Di antara orang-orang mukmin  itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada  Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada  (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak mengubah  (janjinya).” (Al-Ahzab: 23) [Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Surat Al-Ahzab,  3/484 dan Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 3200]
Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik  Al-Asyja’i radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Dahulu kami –berjumlah–  tujuh atau delapan atau sembilan orang di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi  wa sallam. Maka beliau bersabda: “Tidakkah kalian berbai’at kepada  Rasulullah?” Maka kami bentangkan tangan kami. Lantas ada yang berkata:  “Kami telah berbaiat kepadamu wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa  sallam, lalu atas apa kami membaiat anda?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa  sallam bersabda:
أَنْ  تَعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَتُقِيْمُوا  الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ وَتَسْمَعُوا وَتُطِيْعُوا – وَأَسَرَّ كَلِمَةً  خَفِيَّةً – وَلاَ تَسْأَلُوا النَّاسَ شَيْئًا
“Kalian menyembah Allah dan  tidak mempersekutukan-Nya sedikitpun, kalian menegakkan shalat lima  waktu, mendengar dan taat (kepada penguasa) –dan Nabi Shallallahu  ‘alaihi wa sallam mengucapkan kalimat yang samar– (lalu berkata), dan  kalian tidak meminta sesuatu pun kepada manusia.”
‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Sungguh  aku melihat cambuk sebagian orang-orang itu jatuh namun mereka tidak  meminta kepada seorang pun untuk mengambilkannya.” (Shahih Sunan Ibnu  Majah no. 2334)
Seperti itulah besarnya  permasalahan menepati janji di mata generasi terbaik umat ini. Karena  mereka yakin bahwa janji itu akan dimintai pertanggungjawabannya di sisi  Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan tiada kalimat yang terucap kecuali di  sisinya ada malaikat pencatat. Intinya, keimanan yang benar itulah yang  akan mewariskan segala tingkah laku dan perangai terpuji.
Hal ini sangat berbeda dengan  orang yang hanya bisa memberi janji-janji manis yang tidak pernah ada  kenyataannya. Tidakkah mereka takut kepada adzab Allah Subhanahu wa  Ta’ala karena ingkar janji? Tidakkah mereka tahu bahwa ingkar janji  adalah akhlak Iblis dan para munafikin? Ya. Seruan ini mungkin bisa  didengar, tetapi bagaimana bisa mendengar orang yang telah mati hatinya  dan dikuasai oleh setannya.
Iblis Menebar Janji Manis
Semenjak  Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan Adam ‘alaihissalam dan  memuliakannya di hadapan para malaikat, muncullah kedengkian dan  menyalalah api permusuhan pada diri Iblis. Terlebih lagi ketika Allah  Subhanahu wa Ta’ala mengutuknya dan mengusirnya dari surga. Iblis  berikrar akan menyesatkan manusia dengan mendatangi mereka dari berbagai  arah sehingga dia mendapat teman yang banyak di neraka nanti. Berbagai  cara licik dilakukan oleh Iblis. Di antaranya dengan membisikkan pada  hati manusia janji-janji palsu dan angan-angan yang hampa.
Pada waktu perang Badr, Iblis  datang bersama para setan pasukannya dengan membawa bendera. Ia menjelma  seperti seorang lelaki dari Bani Mudlaj dalam bentuk seseorang yang  bernama Suraqah bin Malik bin Ju’syum. Ia berkata kepada kaum musyrikin:  “Tidak ada seorang manusia pun yang bisa menang atas kalian pada hari  ini. Dan aku ini sesungguhnya pelindung kalian.” Tatkala dua pasukan  siap bertempur, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil  segenggam debu lalu menaburkannya pada wajah pasukan musyrikin sehingga  mereka lari ke belakang. Kemudian malaikat Jibril mendatangi Iblis.  Ketika Iblis melihat Jibril dan waktu itu tangannya ada pada genggaman  seorang lelaki, ia berusaha melepaskannya kemudian lari terbirit-birit  beserta pasukannya. Lelaki tadi berkata: “Wahai Suraqah, bukankah kamu  telah menyatakan pembelaan terhadap kami?” Iblis berkata: “Aku melihat  apa yang tidak kamu lihat.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/330 dan Ar-Rahiq  Al-Makhtum hal. 304)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِذْ  زَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ وَقَالَ لاَ غَالِبَ لَكُمُ  الْيَوْمَ مِنَ النَّاسِ وَإِنِّي جَارٌ لَكُمْ فَلَمَّا تَرَاءَتِ  الْفِئَتَانِ نَكَصَ عَلَى عَقِبَيْهِ وَقَالَ إِنِّي بَرِيْءٌ مِنْكُمْ  إِنِّي أَرَى مَا لاَ تَرَوْنَ إِنِّي أَخَافُ اللهَ وَاللهُ شَدِيْدُ  الْعِقَابِ
“Dan ketika setan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan mereka dan mengatakan:
‘Tidak ada seorang manusia pun yang bisa menang atas kalian pada hari ini, dan sesungguhnya saya ini adalah pelindungmu.’ Maka tatkala kedua pasukan itu telah dapat saling melihat (berhadapan), setan itu berbalik ke belakang seraya berkata: ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari kalian; sesungguhnya aku melihat apa yang kalian tidak melihatnya; sesungguhnya aku takut kepada Allah.’ Dan Allah sangat keras siksa-Nya.” (QS. Al-Anfal: 48)
‘Tidak ada seorang manusia pun yang bisa menang atas kalian pada hari ini, dan sesungguhnya saya ini adalah pelindungmu.’ Maka tatkala kedua pasukan itu telah dapat saling melihat (berhadapan), setan itu berbalik ke belakang seraya berkata: ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari kalian; sesungguhnya aku melihat apa yang kalian tidak melihatnya; sesungguhnya aku takut kepada Allah.’ Dan Allah sangat keras siksa-Nya.” (QS. Al-Anfal: 48)
Tanda-tanda Kemunafikan
Menepati  janji adalah bagian dari iman. Barangsiapa yang tidak menjaga  perjanjiannya maka tidak ada agama baginya. Maka seperti itu pula ingkar  janji, termasuk tanda kemunafikan dan bukti atas adanya makar yang  jelek serta rusaknya hati.
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ
“Tanda-tanda munafik ada tiga;  apabila berbicara dusta, apabila berjanji mengingkari, dan apabila  dipercaya khianat.” (HR. Muslim, Kitabul Iman, Bab Khishalul Munafiq no.  107 dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Seorang mukmin tampil beda  dengan munafik. Apabila dia berbicara, jujur ucapannya. Bila telah  berjanji ia menepatinya, dan jika dipercaya untuk menjaga ucapan, harta,  dan hak, maka ia menjaganya. Sesungguhnya menepati janji adalah  barometer yang dengannya diketahui orang yang baik dari yang jelek, dan  orang yang mulia dari yang rendahan. (Lihat Khuthab Mukhtarah, hal.  382-383)
Menjaga Ikatan Perjanjian Walaupun Terhadap Orang Kafir
Orang  yang membaca sirah (sejarah) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan  generasi Salafush Shalih akan mendapati bahwa menepati janji dan ikatan  perjanjian tidak terbatas hanya sesama kaum muslimin. Bahkan terhadap  lawan pun demikian. Sekian banyak perjanjian yang telah diikat antara  Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang kafir dari Ahlul  Kitab dan musyrikin, tetap beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam jaga,  sampai mereka sendiri yang memutus tali perjanjian itu. Allah Subhanahu  wa Ta’ala berfirman:
إِلاَّ  الَّذِيْنَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ ثُمَّ لَمْ يَنْقُصُوْكُمْ  شَيْئًا وَلَمْ يُظَاهِرُوا عَلَيْكُمْ أَحَدًا فَأَتِمُّوا إِلَيْهِمْ  عَهْدَهُمْ إِلَى مُدَّتِهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِيْنَ
“Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah: 4)
Dahulu antara Mu’awiyah bin Abi  Sufyan radhiyallahu ‘anhuma ada ikatan perjanjian (gencatan senjata)  dengan bangsa Romawi. Suatu waktu Mu’awiyah bermaksud menyerang mereka  di mana dia tergesa-gesa satu bulan (sebelum habis masa perjanjiannya).  Tiba-tiba datang seorang lelaki mengendarai kudanya dari negeri Romawi  seraya mengatakan: “Tepatilah janji dan jangan berkhianat!” Ternyata dia  adalah seorang shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama  ‘Amr bin ‘Absah. Mu’awiyah lalu memanggilnya. Maka ‘Amr berkata: “Aku  mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang  artinya): “Barangsiapa antara ia dengan suatu kaum ada perjanjian maka  tidak halal baginya untuk melepas ikatannya sampai berlalu masanya atau  mengembalikan perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur.”  Akhirnya Mu’awiyah menarik diri beserta pasukannya. (Lihat Syu’abul Iman  no. 4049-4050 dan Ash-Shahihah 5/472 hadits no. 2357)
Kalau hal itu bisa dilakukan  terhadap kaum musyrikin, tentu lebih-lebih lagi terhadap kaum muslimin,  kecuali perjanjian yang maksiat, maka tidak boleh dilaksanakan. Nabi  Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلىَ شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
“Dan kaum muslimin (harus  menjaga) atas persyaratan/perjanjian mereka, kecuali persyaratan yang  mengharamkan yang dihalalkan atau menghalalkan yang haram.” (Shahih  Sunan At-Tirmidzi no. 1352, lihat Irwa`ul Ghalil no. 1303)
Menunaikan Nadzar dan Membayar Hutang
Di  antara bentuk menunaikan janji adalah membayar hutang apabila jatuh  temponya dan tiba waktu yang telah ditentukan. Nabi Shallallahu ‘alaihi  wa sallam bersabda:
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيْدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللهُ عَنْهُ، وَمَنْ أَخَذَهَا يُرِيْدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللهُ
“Barangsiapa yang mengambil  harta manusia dalam keadaan ingin menunaikannya niscaya Allah akan  (memudahkan untuk) menunaikannya. Dan barangsiapa mengambilnya dalam  keadaan ingin merusaknya, niscaya Allah akan melenyapkannya.” (HR.  Ahmad, Al-Bukhari dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,  lihat Faidhul Qadir, 6/54)
Adapun menunaikan nadzar, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يُوْفُوْنَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُوْنَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيْرًا
“Mereka menunaikan nadzar dan takut akan suatu hari yang adzabnya merata di mana-mana.” (QS. Al-Insan: 7)
Janji yang Paling Berhak Untuk Dipenuhi
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَحَقُّ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوَفُّوا بِهَا مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوْجَ
“Syarat/janji yang paling berhak  untuk ditepati adalah syarat yang kalian halalkan dengannya kemaluan.”  (HR. Al-Bukhari no. 2721)
Yakni syarat/janji yang paling  berhak untuk dipenuhi adalah yang berkaitan dengan akad nikah seperti  mahar dan sesuatu yang tidak melanggar aturan agama. Jika persyaratan  tadi bertentangan dengan syariat maka tidak boleh dilakukan, seperti  seorang wanita yang mau dinikahi dengan syarat ia (laki-lakinya)  menceraikan isterinya terlebih dahulu. (Lihat Fathul Bari, 9/218)
Larangan Ingkar Janji terhadap Anak Kecil
Sikap  mengingkari janji terhadap siapapun tidak dibenarkan agama Islam,  meskipun terhadap anak kecil. Jika ini yang terjadi, disadari atau  tidak, kita telah mengajarkan kejelekan dan menanamkan pada diri mereka  perangai yang tercela.
Al-Imam Abu Dawud rahimahullahu  telah meriwayatkan hadits dari shahabat Abdullah bin ‘Amir radhiyallahu  ‘anhuma dia berkata: “Pada suatu hari ketika Rasulullah Shallallahu  ‘alaihi wa sallam duduk di tengah-tengah kami, (tiba-tiba) ibuku  memanggilku dengan mengatakan: ‘Hai kemari, aku akan beri kamu sesuatu!’  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada ibuku: ‘Apa  yang akan kamu berikan kepadanya?’ Ibuku menjawab: ‘Kurma.’ Lalu  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَمَا إِنَّكِ لَوْ لَمْ تُعْطِهِ شَيْئًا كُتِبَتْ عَلَيْكِ كِذْبَةٌ
“Ketahuilah, seandainya kamu  tidak memberinya sesuatu maka ditulis bagimu kedustaan.” (HR. Abu Dawud  bab At-Tasydid fil Kadzib no. 498, lihat Ash-Shahihah no. 748)
Di dalam hadits ini ada faedah  bahwa apa yang biasa diucapkan oleh manusia untuk anak-anak kecil ketika  menangis seperti kalimat janji yang tidak ditepati atau menakut-nakuti  dengan sesuatu yang tidak ada adalah diharamkan. (‘Aunul Ma’bud, 13/  229)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:
لاَ يَصْلُحُ الْكَذِبُ فِي جِدٍّ وَلاَ هَزْلٍ، وَلاَ أَنْ يَعِدَ أَحَدُكُمْ وَلَدَهُ شَيْئًا ثُمَّ لاَ يُنْجِزُ لَهُ
“Kedustaan tidak dibolehkan baik  serius atau main-main, dan tidak boleh salah seorang kalian menjanjikan  anaknya dengan sesuatu lalu tidak menepatinya.” (Shahih Al-Adabul  Mufrad no. 300)
Larangan Menunaikan Janji Yang Maksiat
Menunaikan  janji ada pada perkara yang baik dan maslahat, serta sesuatu yang  sifatnya mubah/boleh menurut syariat. Adapun jika seorang memberikan  janji dengan suatu kemaksiatan atau kemudaratan, atau mengikat  perjanjian yang mengandung bentuk kejelekan dan permusuhan, maka  menepati janji pada perkara-perkara ini bukanlah sifat orang-orang yang  beriman, dan wajib untuk tidak menunaikannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi  wa sallam bersabda:
لاَ وَفَاءَ لِنَذْرٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ
“Tidak boleh menepati nadzar  dalam maksiat kepada Allah.” (HR. Ahmad dari sahabat Jabir radhiyallahu  ‘anhu, lihat Shahihul Jami’ no. 7574)
Surga Firdaus bagi yang Menepati Janji
Tidak  akan masuk surga kecuali jiwa yang beriman lagi bersih. Dan surga  bertingkat-tingkat keutamaannya, sedangkan yang tertinggi adalah  Firdaus. Darinya memancar sungai-sungai yang ada dalam surga dan di  atasnya adalah ‘Arsy Ar-Rahman. Tempat kemuliaan yang besar ini  diperuntukkan bagi orang-orang yang memiliki sifat-sifat yang baik, di  antaranya adalah menepati janji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالَّذِيْنَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُوْنَ
“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (QS. Al-Mu`minun: 8)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Jagalah  enam perkara dari kalian niscaya aku jamin bagi kalian surga; jujurlah  bila berbicara, tepatilah jika berjanji, tunaikanlah apabila kalian  diberi amanah, jagalah kemaluan, tundukkanlah pandangan dan tahanlah  tangan-tangan kalian (dari sesuatu yang dilarang).” (HR. Ahmad, Ibnu  Hibban, Al-Hakim dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, lihat Ash-Shahihah  no. 1470)
Ingkar Janji Mendatangkan Kutukan dan Menjerumuskan ke dalam Siksa
Siapapun  orangnya yang masih sehat fitrahnya tidak akan suka kepada orang yang  ingkar janji. Karenanya, dia akan dijauhi di tengah-tengah masyarakat  dan tidak ada nilainya di mata mereka.
Namun anehnya ternyata masih  banyak orang yang jika berjanji hanya sekedar igauan belaka. Dia tidak  peduli dengan kehinaan yang disandangnya, karena orang yang punya mental  suka dengan kerendahan tidak akan risih dengan kotoran yang menyelimuti  dirinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ  شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللهِ الَّذِيْنَ كَفَرُوا فَهُمْ لاَ  يُؤْمِنُوْنَ. الَّذِيْنَ عَاهَدْتَ مِنْهُمْ ثُمَّ يَنْقُضُوْنَ  عَهْدَهُمْ فِي كُلِّ مَرَّةٍ وَهُمْ لاَ يَتَّقُوْنَ
“Sesungguhnya binatang  (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang kafir,  karena mereka itu tidak beriman. (Yaitu) orang-orang yang kamu telah  mengambil perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati  janjinya pada setiap kalinya, dan mereka tidak takut  (akibat-akibatnya).” (QS. Al-Anfal: 55-56)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ عِنْدَ إِسْتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Bagi setiap pengkhianat (akan  ditancapkan) bendera pada pantatnya di hari kiamat.” (HR. Muslim bab  Tahrimul Ghadr no. 1738 dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)
Khatimah
Demikianlah  indahnya wajah Islam yang menjunjung tinggi etika dan adab pergaulan.  Ini sangat berbeda dengan apa yang disaksikan oleh dunia saat ini berupa  kecongkakan Yahudi, Nasrani, dan musyrikin serta pengkhianatan mereka  terhadap kaum muslimin.
Saat menapaki sejarah, kita bisa  menyaksikan, para pengkhianat perjanjian akan berakhir dengan  kemalangan. Tentunya tidak lupa dari ingatan kita tentang nasib tiga  kelompok Yahudi Madinah, yaitu Bani Quraizhah, Bani An-Nadhir, dan Bani  Qainuqa’ yang berkhianat setelah mengikat tali perjanjian dengan  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berujung dengan kehinaan.  Di antara mereka ada yang dibunuh, diusir, dan ditawan.
Mungkin watak tercela itu sangat  melekat pada diri mereka karena tidak adanya keimanan yang benar.  Tetapi bagi orang-orang yang mendambakan kebahagiaan hakiki dan ditolong  atas musuh-musuhnya, mereka menjadikan etika yang mulia sebagai salah  satu modal dari sekian modal demi tegaknya kalimat Allah Subhanahu wa  Ta’ala dan terwujudnya harapan. Yakinlah, Islam akan senantiasa tinggi,  dan tiada yang lebih tinggi darinya. Wallahu a’lam.
Sumber : http://shirotholmustaqim.wordpress.com/2011/04/18/menepati-janji/
 









0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.