Oleh : Ust. Abu Salma Al Atariy
Syaikh ‘Abdullâh bin Shâlih al-‘Ubailân hafizhahullâhu ditanya tentang hukum gambar, maka beliau hafizhahullâhu menjawab:
Masalah ini ada perinciannya. Para ulama bersepakat akan keharaman gambar (makhluk hidup yang dibuat) oleh tangan, sebagaimana mereka juga bersepakat akan haramnya gambar-gambar yang berfisik (jism) dan patung-patung. Inilah yang disepakati oleh para ulama (keharamannya) dan banyak nash-nash yang secara tegas menunjukkan (akan keharaman) gambar-gambar yang telah ada semenjak zaman nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam.
Adapun gambar-gambar yang ada di zaman ini, maka terbagi menjadi dua: yaitu gambar fotografi dan gambar video.
Adapun yang pertama (yaitu fotografi) maka para ulama ahlus sunnah bersepakat akan haramnya menggantungkan gambar-gambar foto dan hukumnya sama dengan hukum gambar yang dihasilkan dari gambar tangan yang digantung. Sebab, keserupaan hasil dari gambar yang dibuat oleh tangan sama dengan gambar yang dihasilkan oleh kamera.
Adapun selain itu (yaitu selain digantung), maka para ulama berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang menyamakan antara gambar foto dengan gambar tangan, yaitu hukumnya haram secara mutlak, kecuali pada keadaan tertentu yang mendesak (yang tidak bisa dihindarkan, seperti KTP, SIM, Paspor, dls, pent.).
Sebagian lagi berpendapat bahwa hukum foto tidak sama dengan hukum gambar tangan, selama tidak diagungkan. Jika diagungkan, maka haram hukumnya. Mereka berargumentasi bahwa gambar fotografi itu tidak ada unsur penciptaan dan menggambar manusia di dalamnya, namun hanyalah memindahkan obyek suatu benda dan menempatkannya (di tempat lain), yang serupa dengan gambar pada cermin, di mana apabila tampak gambar manusia di dalamnya, tidak ada yang mengatakan bahwa gambar tersebut haram hukumnya. Sebab, tidak ada unsur penciptaan makhluk Allah di dalamnya. Keserupaan akan terjadi apabila manusia masuk ke dalam penciptaan makhluk Allah, namun dalam kondisi ini (yaitu fotografi) tidak sama dengan penciptaan makhluk Allah. Walau demikian, tidak disukai dan dianjurkan bagi seseorang untuk memperbanyak suatu hal yang tidak begitu dibutuhkan olehnya.
Adapun gambar-gambar di kamera televisi, maka saya tidak tahu ada seorang pun dari guru-guru kami yang menfatwakan keharamannya. Sisi pandang argumentasinya adalah, bahwa hal ini tidak dianggap sebagai gambar kecuali di saat menyaksikannnya, kemudian hal ini hanyalah memindahkan (obyek) hidup di saat kejadian dan tidak termasuk gambar yang dilarang oleh Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam.
(Ditranskrip secara bebas dari Liqo`ul Maftuh Syaikh al-‘Ubailân)
Berikut adalah beberapa tanya jawab yang yang saya kutip dari kolom tanya jawab yang ada di bawah catatan di atas:
● Ditanya oleh anmuslim :
"salamu’alaikum, afwan akh an mo nany klo penggunaan foto untuk di fs ato di fb sbagai tanda pengenal bg tmn2 lama apakah diperbolehkan? syukron. jazakallohu khoiroUstadz."
● Ustadz Abu Salma menjawab:
Wa’alaikum Salamun. Kembali lagi ke masalah status gambar foto, hal ini diperselisihkan oleh ahli ilmu. Sebagian mengharamkan secara mutlak dan sebagian lagi memperbolehkannya. Apabila anda merajihkan pendapat yg memperbolehkan dan menganggap hasil gambar/foto di dalamnya bukanlah tmsk gambar yg diharamkan, maka hukum asalnya mubah. Kecuali, apabila ada unsur yg merubah status hukum asalnya menjadi haram, seperti memasang gambar yg dapat menimbulkan fitnah, gambar wanita, atau gambar yg dikhawatirkan akan ada unsur kultus/ta’zhim, atau memajangnya, dls. Sekali lagi ini masalah khilafiyah ijtihadiyah, bukan masalah manhajiyah seperti yg didengangdengungkan oleh sebagian orang yang ghuluw… Wallohu a’lam
● Ditanya oleh maramis setiawan:
mas….bagaimana kalo foto digital? hanya disimpan dalam memory…..atau komputer, tanpa dicetak. Bagaimana juga dengan upload gambar makluk hidup di website?
● Ustad Abu Salma menjawab:
Sebagaimana dipaparkan oleh Syaikh al-Muhaddits al-’Ubailan, bahwa masalah hukum gambar foto diperdebatkan oleh para ulama, antara yg mengharamkan dan memperbolehkan. Yang mengharamkan menganggap gambar foto, video, tv atau lain sebagainya termasuk bab penciptaan makhluk hidup, sedangkan yg memperbolehkan menganggap tdk ada unsur penciptaan di dalamnya, kecuali hanya memindahkan bayangan obyek saja. Hal ini seperti gambar pada cermin, atau fotokopi. Tidak ada unsur menggambar makhluk baru di dalamnya, dan inilah yang diperpegangi oleh Faqihuz Zaman al-’Allamah Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu. Apabila antum termasuk yang merajihkan haram, maka haram hukumnya. Namun, apabila antum lebih merajihkan yg memperbolehkan, maka boleh hukumnya, dan hendaknya tdk memperbanyak hal ini sebab termasuk hal yg kurang bermanfaat dan tidak dicetak dan digantung di dalam rumah.
Wallohu a’lam.
Syaikh ‘Abdullâh bin Shâlih al-‘Ubailân hafizhahullâhu ditanya tentang hukum gambar, maka beliau hafizhahullâhu menjawab:
Masalah ini ada perinciannya. Para ulama bersepakat akan keharaman gambar (makhluk hidup yang dibuat) oleh tangan, sebagaimana mereka juga bersepakat akan haramnya gambar-gambar yang berfisik (jism) dan patung-patung. Inilah yang disepakati oleh para ulama (keharamannya) dan banyak nash-nash yang secara tegas menunjukkan (akan keharaman) gambar-gambar yang telah ada semenjak zaman nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam.
Adapun gambar-gambar yang ada di zaman ini, maka terbagi menjadi dua: yaitu gambar fotografi dan gambar video.
Adapun yang pertama (yaitu fotografi) maka para ulama ahlus sunnah bersepakat akan haramnya menggantungkan gambar-gambar foto dan hukumnya sama dengan hukum gambar yang dihasilkan dari gambar tangan yang digantung. Sebab, keserupaan hasil dari gambar yang dibuat oleh tangan sama dengan gambar yang dihasilkan oleh kamera.
Adapun selain itu (yaitu selain digantung), maka para ulama berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang menyamakan antara gambar foto dengan gambar tangan, yaitu hukumnya haram secara mutlak, kecuali pada keadaan tertentu yang mendesak (yang tidak bisa dihindarkan, seperti KTP, SIM, Paspor, dls, pent.).
Sebagian lagi berpendapat bahwa hukum foto tidak sama dengan hukum gambar tangan, selama tidak diagungkan. Jika diagungkan, maka haram hukumnya. Mereka berargumentasi bahwa gambar fotografi itu tidak ada unsur penciptaan dan menggambar manusia di dalamnya, namun hanyalah memindahkan obyek suatu benda dan menempatkannya (di tempat lain), yang serupa dengan gambar pada cermin, di mana apabila tampak gambar manusia di dalamnya, tidak ada yang mengatakan bahwa gambar tersebut haram hukumnya. Sebab, tidak ada unsur penciptaan makhluk Allah di dalamnya. Keserupaan akan terjadi apabila manusia masuk ke dalam penciptaan makhluk Allah, namun dalam kondisi ini (yaitu fotografi) tidak sama dengan penciptaan makhluk Allah. Walau demikian, tidak disukai dan dianjurkan bagi seseorang untuk memperbanyak suatu hal yang tidak begitu dibutuhkan olehnya.
Adapun gambar-gambar di kamera televisi, maka saya tidak tahu ada seorang pun dari guru-guru kami yang menfatwakan keharamannya. Sisi pandang argumentasinya adalah, bahwa hal ini tidak dianggap sebagai gambar kecuali di saat menyaksikannnya, kemudian hal ini hanyalah memindahkan (obyek) hidup di saat kejadian dan tidak termasuk gambar yang dilarang oleh Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam.
(Ditranskrip secara bebas dari Liqo`ul Maftuh Syaikh al-‘Ubailân)
Berikut adalah beberapa tanya jawab yang yang saya kutip dari kolom tanya jawab yang ada di bawah catatan di atas:
● Ditanya oleh anmuslim :
"salamu’alaikum, afwan akh an mo nany klo penggunaan foto untuk di fs ato di fb sbagai tanda pengenal bg tmn2 lama apakah diperbolehkan? syukron. jazakallohu khoiroUstadz."
● Ustadz Abu Salma menjawab:
Wa’alaikum Salamun. Kembali lagi ke masalah status gambar foto, hal ini diperselisihkan oleh ahli ilmu. Sebagian mengharamkan secara mutlak dan sebagian lagi memperbolehkannya. Apabila anda merajihkan pendapat yg memperbolehkan dan menganggap hasil gambar/foto di dalamnya bukanlah tmsk gambar yg diharamkan, maka hukum asalnya mubah. Kecuali, apabila ada unsur yg merubah status hukum asalnya menjadi haram, seperti memasang gambar yg dapat menimbulkan fitnah, gambar wanita, atau gambar yg dikhawatirkan akan ada unsur kultus/ta’zhim, atau memajangnya, dls. Sekali lagi ini masalah khilafiyah ijtihadiyah, bukan masalah manhajiyah seperti yg didengangdengungkan oleh sebagian orang yang ghuluw… Wallohu a’lam
● Ditanya oleh maramis setiawan:
mas….bagaimana kalo foto digital? hanya disimpan dalam memory…..atau komputer, tanpa dicetak. Bagaimana juga dengan upload gambar makluk hidup di website?
● Ustad Abu Salma menjawab:
Sebagaimana dipaparkan oleh Syaikh al-Muhaddits al-’Ubailan, bahwa masalah hukum gambar foto diperdebatkan oleh para ulama, antara yg mengharamkan dan memperbolehkan. Yang mengharamkan menganggap gambar foto, video, tv atau lain sebagainya termasuk bab penciptaan makhluk hidup, sedangkan yg memperbolehkan menganggap tdk ada unsur penciptaan di dalamnya, kecuali hanya memindahkan bayangan obyek saja. Hal ini seperti gambar pada cermin, atau fotokopi. Tidak ada unsur menggambar makhluk baru di dalamnya, dan inilah yang diperpegangi oleh Faqihuz Zaman al-’Allamah Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu. Apabila antum termasuk yang merajihkan haram, maka haram hukumnya. Namun, apabila antum lebih merajihkan yg memperbolehkan, maka boleh hukumnya, dan hendaknya tdk memperbanyak hal ini sebab termasuk hal yg kurang bermanfaat dan tidak dicetak dan digantung di dalam rumah.
Wallohu a’lam.
Sumber: http://abusalma.wordpress.com/2009/03/31/transkrip-video-hukum-gambar/
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.